Surat Anak Palestina (1)
Palestina Takut? No Way
Selama serangan Zionis, perasaanku adalah sebagaimana layaknya perasaan seorang remaja, seorang pemuda, seorang anak, atau seorang wanita dari anak-anak bangsa yang tengah menderita ini (Palestina— pent). Di satu sisi, dalam diriku tidak ada rasa takut, khawatir, atau cemas. Karena aku meyakini bahwa apa pun yang telah ditulis oleh Allah pasti akan terjadi. Kami adalah kaum yang mengimani Allah dengan sebenar-benar keimanan, termasuk mengimani takdir dari Allah. Karena itu, segala sesuatu yang menimpa kami, pasti terjadi. Dan setiap sesuatu yang telah ditakdirkan bagi kami, itulah yang diridhai oleh Allah.
Di sisi lain, aku juga merasa kesepian dan merana. Bahkan merasa terasing, karena harus berpisah dari semua yang kami cintai. Namun, kadang muncul juga rasa bahagia dan gembira, karena mereka telah menggapai kemenangan sebagai seorang syahid di mata Allah. Aku sendiri sudah sekian lama berharap untuk menjadi seorang syahid. Mati sebagai seorang syahid adalah cita-citaku yang paling indah.
Dalam kamus anak-anak Palestina tidak ada rasa takut. Karena kalau ada rasa takut, niscaya kalian tidak akan pernah bisa menyaksikan eksistensi kami sampai hari ini. Sekali lagi, rasa takut tidak ada dalam kamus kami, anak-anak Palestina!
Semoga Allah dan harapan bangsaku pada umumnya adalah agar Allah menghancurkan musuh ini, dan mengusirnya dari tanah airku, tanah air nenek-moyangku, dan tanah air leluhur kami. Semoga Allah juga menjadikan mereka (kaum Zionis Yahudi) bangsa yang terjajah, terusir dari tanah airnya sendiri, sebagaimana mereka telah mengusir kami dari tanah air kami.
Aku tidak mengharapkan apa pun dari dunia internasional dan dunia Islam, selain solidaritas terhadap saudara-saudara mereka yang tengah menderita. Dulu aku pernah menaruh harapan kepada pemerintahan mereka. Namun tak ada kepedulian apa pun dari mereka, karena pemerintahan mereka sendiri adalah zalim. Mana mungkin berharap cahaya muncul dari malam yang gelap gulita.
Untuk masa depan, sebenarnya aku memiliki banyak obsesi. Pertama agar banjir darah ini segera berhenti. Kedua adalah aku bisa shalat dua rakaat di kampung Yafa, sebuah tempat di mana aku diusir darinya. Ketiga, agar bumi yang dirampas oleh Yahudi segera kembali ke pangkuan kami dalam keadaan suci serta bersih dari kotoran Yahudi. Keempat, aku bisa shalat di Masjid al Aqsa. Kelima, aku berharap bisa bertemu dengan orang-orang yang kucintai. Keenam, aku bisa mengqadha segala yang tertinggal. Ketujuh, semoga para tawanan bisa segera kembali.
Sekarang, setelah serangan Yahudi berhenti, perasaanku campur aduk. Aku merasakan aura kemenangan yang telah ditunggu-tunggu; aku merasakan kehancuran yang telah merenggut jiwa 1.600 syuhada, 5.000 orang terluka, dan berpuluh-puluh orang yang dikeluarkan dari reruntuhan dan puing-puing bangunan yang hancur akibat serangan Yahudi; aku merasakan keindahan dari pemandangan bagian-bagian tubuh yang tercerai-berai dan menganga; dan aku juga merasakan kejahatan kaum Yahudi. Kejahatan itu telah menumbuhkan rasa dendam untuk mengembalikan senyuman indah dari anak-anak negeriku.
Muhammad Al-Amin Emad Umayyah Al-Haririy (16 tahun)
Selama serangan Zionis, perasaanku adalah sebagaimana layaknya perasaan seorang remaja, seorang pemuda, seorang anak, atau seorang wanita dari anak-anak bangsa yang tengah menderita ini (Palestina— pent). Di satu sisi, dalam diriku tidak ada rasa takut, khawatir, atau cemas. Karena aku meyakini bahwa apa pun yang telah ditulis oleh Allah pasti akan terjadi. Kami adalah kaum yang mengimani Allah dengan sebenar-benar keimanan, termasuk mengimani takdir dari Allah. Karena itu, segala sesuatu yang menimpa kami, pasti terjadi. Dan setiap sesuatu yang telah ditakdirkan bagi kami, itulah yang diridhai oleh Allah.
Di sisi lain, aku juga merasa kesepian dan merana. Bahkan merasa terasing, karena harus berpisah dari semua yang kami cintai. Namun, kadang muncul juga rasa bahagia dan gembira, karena mereka telah menggapai kemenangan sebagai seorang syahid di mata Allah. Aku sendiri sudah sekian lama berharap untuk menjadi seorang syahid. Mati sebagai seorang syahid adalah cita-citaku yang paling indah.
Dalam kamus anak-anak Palestina tidak ada rasa takut. Karena kalau ada rasa takut, niscaya kalian tidak akan pernah bisa menyaksikan eksistensi kami sampai hari ini. Sekali lagi, rasa takut tidak ada dalam kamus kami, anak-anak Palestina!
Semoga Allah dan harapan bangsaku pada umumnya adalah agar Allah menghancurkan musuh ini, dan mengusirnya dari tanah airku, tanah air nenek-moyangku, dan tanah air leluhur kami. Semoga Allah juga menjadikan mereka (kaum Zionis Yahudi) bangsa yang terjajah, terusir dari tanah airnya sendiri, sebagaimana mereka telah mengusir kami dari tanah air kami.
Aku tidak mengharapkan apa pun dari dunia internasional dan dunia Islam, selain solidaritas terhadap saudara-saudara mereka yang tengah menderita. Dulu aku pernah menaruh harapan kepada pemerintahan mereka. Namun tak ada kepedulian apa pun dari mereka, karena pemerintahan mereka sendiri adalah zalim. Mana mungkin berharap cahaya muncul dari malam yang gelap gulita.
Untuk masa depan, sebenarnya aku memiliki banyak obsesi. Pertama agar banjir darah ini segera berhenti. Kedua adalah aku bisa shalat dua rakaat di kampung Yafa, sebuah tempat di mana aku diusir darinya. Ketiga, agar bumi yang dirampas oleh Yahudi segera kembali ke pangkuan kami dalam keadaan suci serta bersih dari kotoran Yahudi. Keempat, aku bisa shalat di Masjid al Aqsa. Kelima, aku berharap bisa bertemu dengan orang-orang yang kucintai. Keenam, aku bisa mengqadha segala yang tertinggal. Ketujuh, semoga para tawanan bisa segera kembali.
Sekarang, setelah serangan Yahudi berhenti, perasaanku campur aduk. Aku merasakan aura kemenangan yang telah ditunggu-tunggu; aku merasakan kehancuran yang telah merenggut jiwa 1.600 syuhada, 5.000 orang terluka, dan berpuluh-puluh orang yang dikeluarkan dari reruntuhan dan puing-puing bangunan yang hancur akibat serangan Yahudi; aku merasakan keindahan dari pemandangan bagian-bagian tubuh yang tercerai-berai dan menganga; dan aku juga merasakan kejahatan kaum Yahudi. Kejahatan itu telah menumbuhkan rasa dendam untuk mengembalikan senyuman indah dari anak-anak negeriku.
Muhammad Al-Amin Emad Umayyah Al-Haririy (16 tahun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar